Oleh: Muhamad Farhan Maulana
Perkenalkan nama saya Muhamad Farhan
Maulana, sebelumnya saya ingin berterimakasih kepada panitia PBAK UIN Walisongo
2017 yang memberi penugasan ini, karena menurut saya tema yang diberikan yaitu
“Urgensi Etika Politik Indonesia” adalah hal yang harus menjadi perhatian kita
semua, khususnya para pemuda calon pakar, ahli Politik di seluruh pelosok NKRI.
Karna saat ini politik tanpa etika merupakan momok yang lumrah terjadi akibat keserakahan
politisi dan membludaknya politik praktis dari figur publik di negeri ini. Maka dari itu dengan membeberkan berberapa
fakta, survei dari lembaga dan pendalaman politik pribadi yang dikemas melalui
sebuah sistem pengkajian ilmiah, saya angkat tulisan ini dengan judul essay
“ETIKA POLITIK DALAM MEMBENTUK KREDIBILITAS MASYARAKAT” .
Di era pasca reformasi ini, kita
melihat kenyataan bahwa banyak tokoh masyarakat, selebritis atau sekedar figur
publik yang ‘mendadak politis’, sebagian besar dari mereka tidak dibarengi
dengan latar belakang politik malah masuk ke dalam lingkaran yang mestinya diisi
oleh para ahlinya, sehingga mereka lupa, pura-pura lupa atau sama sekali tidak paham
etika pemikiran dan sikap dalam berpolitik yang harusnya berlandaskan
pancasila, yaitu kritis, mendasar, rasional, sistematis dan kompehensi.[1]
Seperti halnya abrasi, kenyataan tersebut terbukti semakin membuat terkikisnya
pantai kepercayaan masyarakat terhadap dunia politik di negara kita tercinta.
Etika Politik merupakan prinsip yang
harus dijunjung tinggi dalam keberlangsungan politik di Indonesia. Etika tersebut
menjadi salah satu aspek yang harus ditegakkan sebagai mana mestinya. Dengan
demikian, politik memiliki batasan yang akan mengontrol kekuasaannya agar tidak
merugikan masyarakat serta mencapai tujuan awal yaitu menjadi sarana untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kita harus menyadari bahwa politik
tanpa etika bukanlah politik yang di lahirkan untuk tujuan mulia. Politik yang
seharusnya ialah dilakukan dengan pemikiran yang rasional, berpedoman
nilai-nilai pancasila dan mengedapankan kepentingan rakyat Indonesia. Politik
yang beretika akan mengantarkan politik negara pada satu titik dimana tidak ada
penyalah gunaan kekuasaan serta menguntungkan suatu golongan. Namun nyatanya
saat ini etika dalam berpolitik sedang berada di titik terendahnya.
Akibat keserakahan dan ambisi pribadi
maupun golongan tertentu, politisi Indonesia sedang kehilangan daya kritis cerdas
dan etika yang benar, panggung politik Indonesia saat ini sedang menghadapi
sebuah persoalan politik yang sebetulnya sungguh menggelitik, saya ambil contoh
ketika seorang politisi DPR RI, Fahri Hamzah berkomentar mengenai kawannya
sekaligus Ketua DPR RI Setya Novanto yang berberapa hari lalu terciduk KPK
misalnya, secara terang-terangan seorang wakil Ketua DPR RI tersebut mengkritik
lembaga anti korupsi dan menyalahkan mereka atas banyaknya kasus korupsi di
negeri akibat tidak efektifnya lembaga tersebut.[2] Saya tidak habis
pikir. Bagaimana kalau kita analogikan dengan sebuah rumah sakit dipenuhi oleh
pasien yang berobat, apakah kita salahkan rumah sakitnya? Tidak, karna disitu
rumah sakit sebagai tempat untuk berobat, dan semua orang menggunakan tempat
sebagaimana fungsinya, lalu dengan kenyataan KPK yang berhasil menangkap
sebagian besar tersangka baru, bagaimana bisa dikatakan KPK tidak efektif?
Inilah sebagian kecil penyakit politik yang mendera sanubari bangsa saat ini.
Sementara itu, di lokasi lain kita
lihat saja sebuah fakta yang aneh (untuk tidak dikatakan gila) bagaimana
seorang tersangka korupsi masih dengan senyumnya memimpin lembaga yang kelasnya
terhormat.[3] Apakah masyarakat bisa mempercayai politikus yang tidak
memakai etika dalam melaksanakan amanah politiknya? Apakah kita harus percaya
dengan politikus yang urat malunya bahkan sudah tidak terdeteksi lagi? Dari
fakta tersebut terlihat sebuah paradoks yang nyata dalam dunia perpolitikan
kita dimana mereka yang tidak baik, justru banyak bergentayangan. Posisinya pun
sangat tragis, sebagai penentu nasib bangsa kedepan.
Masalahnya kemudian dengan segala
bentuk carut-marut berpolitikan di negara kita ini, rakyat kemudian apatis
dengan politik. Tingkat kepercayaan rakyat sebegitu rendahnya terhadap politisi
dan politik seakan menjadi “barang haram” yang najis ketika di sentuh. Bahkan
berberapa waktu lalu sebuah survei dilakukan oleh Tempo mendapati 51,3% dari
1200 masyarakat di 34 provinsi di Indonesia sama sekali tidak percaya pada
partai politik, sebagian besar dari mereka bahkan sudah jarang mengikuti
perkembangan politik di Indonesia.[4] Padahal apatisme rakyat
terhadap politik bisa menjadi bumerang karena hampir semua kebijakan dan
kepentingan rakyat diambil melalui jalur politik.
Maka dari itu Indonesia harus segera
menelaah sistem yang menjadi pondasi politiknya. Apakah pondasinya telah kokoh
dibangun dengan komitmen bersama mewujudkan Indonesia sejahtera atau
menggunakan material yang mudah rapuh dimakan keserakahan manusia. Etika dapat
menjadi bahan yang kuat untuk terciptanya pondasi politik yang kuat, salah
satunya dengan tempatkan manusia yang benar dan ahli dibidang politik itu sendiri,
bukan sekedar politik praktis yang hanya memakai nama besarnya dibidang diluar
politik malah ditempatkan posisi strategis dalam strata politik. Karena hal
tersebut dapat menimbulkan paradigma orang berada cepat kaya, orang hebat malah
tersingkir, sementara hidupnya hanya menimbulkan citra pribadi, bukan citra
pembangunan politik yang selalu digaung-gaungkan dengan indahnya lewat panggung
pada masa kampanye dulu.
Kemudian kita mengenal prinsip “The
right man on the right place” oleh pakar politik Peter G. Northouse.[5]
Juga dalam Islam, dari hadis Bukhari nomor 6015, yang sahih dikatakan bahwa
“Jika sesuatu dipasrahkan pada bukan ahlinya, maka tunggulah saat
kehancurannya”.[6] Begitupun dalam konteks politik.
Oleh karenanya, Etika dalam politik
harus dibangun dan ditegakkan secara baik dan benar melalui politisi yang
memang memiliki latar belakang politik. Politik yang memiliki kepercayaan dari
masyarakat tidak akan mudah untuk di serang ketahanannya. Baik ketahanan dalam
maupun luar, sehingga mampu membuat kredibilitas masyarakat meningkat yang
otomatis membawa Indonesia menjadi lebih sejahtera.
Mulai
dari kasus E-KTP, keributan internal, lalu upaya pelemahan terhadap sebuah
lembaga anti korupsi, dari berberapa contoh tersebut mungkin essay ini hanya
mewakili sebagian kecil pendapat pribadi terhadap situasi politik di negara
kita saat ini, masyarakat banyak menanggung kerugian akibat keserakahan para
politisi yang tak beretika, dari mereka yang melecehkan aspirasi rakyat dengan
bangganya duduk di bangku kehormatan, mereka dengan egoisnya berdiri kokoh
diatas penderitaan rakyat. Kini rakyat sedang meringis menanti sebuah revolusi
hebat oleh para calon ahli politik yang saat ini sedang membaca, mendengar atau
mungkin yang sedang menulis sebuah essay sederhana ini.
DAFTAR PUSTAKA
·
[1] Prof. DR.
Kaelan, M.S.. 2014. Pendidikan Pancasila. Paradigma. Yogyakarta;
·
[2] Hamzah, Fahri. “Pertanyaannya kok #15TahunKPK OTT
makin banyak? Bukankah ini pengakuan korupsi tambah banyak? Lalu sukses KPK di
mana?.” Cuitan dari Twitter @Fahrihamzah. 20 Juni 2017. <https://twitter.com/Fahrihamzah/status/877132894728105985;
·
[3] Suryowati,
Estu. “Jadi Tersangka KPK, Novanto Tak Mundur sebagai Ketua DPR”. Kompas.com.
18 Agustus 2017 < http://nasional.kompas.com/read/2017/07/18/13425221/jadi-tersangka-kpk-novanto-tak-mundur-sebagai-ketua-dpr;
·
[4] Faiz, Ahmad.
“Survei: Partai Politik Makin Tidak Dipercayai Masyarakat”. Tempo.co. 23
Maret 2017. <https://nasional.tempo.co/read/news/2017/03/23/078858765/survei-partai-politik-makin-tidak-dipercayai-masyarakat;
·
[5] G. Northouse,
Peter. 1997. Leadership: Theory and Practice. Michigan;
·
[6] Tandjung,
Ihsan. “Jika Bukan Ahlinya Yang Mengurus, Tunggulah Kehancuran..!”. Eramuslim.com.
16 April 2015. <https://www.eramuslim.com/suara-langit/penetrasi-ideologi/jika-bukan-ahlinya-yang-mengurus-tunggulah-kehancuran.html
*)Daftar Pustaka yang bersumber dari internet
disusun sesuai dengan gaya penulisan APA
(American Psychological Association)